December 17, 2017

Meski Tanpa Kaki, Ibrahim Terus Berjuang Untuk Palestina Hingga Syahid Tiga Hari Lalu

Ibrahim Abu Thuraya (foto: merdeka.com)
Gema Indonesia - Ibrahim Abu Thuraya, 29 tahun, pejuang Palestina tanpa kaki syahid setelah ditembak di kepala oleh tentara israel ketika ikut demo di perbatasan Gaza tiga hari lalu.

Meski tanpa kaki, Ibrahim sangat bersemangat membela negaranya bahkan ia diketahui selalu menghadiri unjuk rasa di Jalur Gaza. Ia bahkan berani melakukan aksi heroik dengan memanjat tiang listrik sambil membawa bendera Palestina ketika berunjuk rasa. Dia menyebut aksinya 'melawan meski lumpuh'.


Ibrahim Abu Thuraya (foto: merdeka.com)
Pada aksi unjuk rasa yang di perbatasan Gaza yang menuntut amerika menarik keputusan soal Yerusalem sebagai ibu kota israel, Ibrahim dengan lantang menyerukan agar rakyat Palestina bergabung dalam aksi tersebut.

"Tanah ini tanah kami. Kami tidak akan menyerah. Amerika harus menarik pengumumannya," ujar Ibrahim, Sabtu (16/12/17).

"Yang terpenting adalah kami hadir di sini untuk menyampaikan pesan kepada tentara zionis, rakyat Palestina adalah orang yang kuat."


Ribuan orang turut menghadiri pemakamannya untuk mendoakan pejuang yang sering terlihat mengibarkan bendera Palestina sambil memimpin sorak-sorai perlawanan itu.


Ibrahim meninggalkan 11 anggota keluarga, termasuk enam adik perempuan dan lima adik laki-laki. Iya merupakan tulang punggung keluarga.

Ibrahim kehilangan dua kaki dan satu ginjal ketika israel melancarkan operasi militer pada 2008. Pada waktu itu tentara israel membunuh 1.400 orang dalam 22 hari.

Sebelumnya ia adalah seorang nelayan yang bisa mendapat uang dari menjual ikan hasil tangkapannya sebesar Rp 250 ribu sehari. Setelah kehilangan kaki, Ibrahim memenuhi kebutuhan keluarganya dengan mencuci mobil di Gaza di dekat tempat tinggal mereka di penampungan pengungsi yang padat.


foto: merdeka.com
Ayah dan ibunya sudah tidak mampu lagi bekerja disebabkan sakit darah tinggi dan diabetes.

Dari mencuci mobil, Ibrahim bisa mendapatkan penghasilan sebesar Rp 3,3 juta perbulan. Uang itu dia gunakan untuk membayar listrik, air, dan rumah sewa. Itu adalah penghasilan maksimal yang bisa dia dapat sebagai orang berkursi roda.


Suatu kali Ibrahim pernah berkata kepada seorang aktivis bahwa dia tidak mau menerima uang dari pemilik mobil yang tidak memberinya pekerjaan.

"Saya bukan pengemis. Saya bisa mencari uang. Tolong jangan menilai dari tubuh saya yang cacat,"

"Lihat hasil kerja saya. Ini bukan akhir dari segalanya. Kehidupan harus terus berjalan" ujar Ibrahim.

Sumber: merdeka.com
Share:

Tanpa Senjata, Miliarder Palestina Lawan israel Dengan Pembangunan

kota Rawabih (foto: dream.co.id)
Gema Indonesia - Dibalik reruntuhan bangunan dan konflik yang terus terjadi sepanjang tahun, ternyata Palestina memiliki sebuah kota yang bersinar dan indah. Rawabi nama kota yang tengah dibangun menjadi sebuah mega proyek senilai US $1,4. Tampak deretan toko fashion di antara gedung bergaya romawi.

Bashar al-Masri, seorang milyarder berdarah Palestina berjuang melawan tiran israel, tidak dengan mengangkat senjata melainkan dengan pembangunan sebuah kota yang bersinar yang bernama Rawabi yang akan mengangkat harkat dan martabat rakyat Palestina.


Bashar al-Masri (foto:dream.co.id)
Selama satu dekade, baru 3000 orang yang tinggal di sejumlah menara di kawasan bukit sebelah utara Ramallah ini. Hingga kini pembangunan masih terus berlangsung dan diharapkan akan ada 40 ribu orang yang tinggal di kota baru ini.

"Rawabi, khususnya dalam 4-5 bulan, telah menjadi kota tujuan warga Palestina," ujar Bashar al-Masri.

Bashar al-Masri adalah seorang pebisnis di bidang properti, Massar International. Pada 2016 Kekayaannya ditaksir mencapai US$1,5 miliar.

Meskipun saat ini Masri telah menjadi seorang pebisnis yang sukses, namun masa lalunya penuh dengan perjuangan. Lahir pada tahun 1961, Masri besar di sebuah kawasan konflik Tepi Barat Nablus. Masri menghabiskan masa mudanya dengan melawan pendudukan israel yang mulai menguasai kawasan itu.

"Saat kecil, saya percaya pada kekerasan,". 

"Saya aktivis sekolah, merencanakan demonstrasi, dan menulis surat ke Sekjen PBB Kurt Waldheim," ujarnya.


Seperti pemuda Palestina lainnya, Masri juga sering melempar batu ke barisan tentara israel. Aksi ini membawanya masuk penjara pada 1975 saat berusia 14 tahun. Saat usia 16 tahun, Masri kembali masuk penjara hingga akhirnya diterbangkan ke sekolah menengah atas di Kairo, Mesir.

Masri kemudian melanjutkan studi teknik kimia dan manajemen di universitas Amerika dan Inggris. Namun saat gerakan intifada berkobar di tahun 1987, Masri pulang kampung.

"Saat periode itu, saya sama sekali tak keluar dari aksi demonstrasi. Saya lebih banyak berperan di sisi perencanaan," ungkapnya.

Usai menamatkan pendidikan, Masri merintis bisnis real estate yang mulai berkembang. Berbagai kontrak bisnis di Maroko, Libya, Yordania, dan Mesir ditanda tangani. Dia juga bekerja sebagai konsultan di London, Arab Saudi, dan Washington DC, Amerika Serikat.

Menjadi sukses dan maju di negeri orang, tak membuatnya melupakan tanah kelahiran. Dia terkenang dengan rumah masa lalunya dan memutuskan bertemu dengan beberapa teman sekolahnya. Tahun 1994 usai Oslo Accord, dan keinginan balik kampung, Masri mulai membangun mimpinya membangun Rawabi. Kota baru yang menyediakan akomodasi murah dibandingkan Ramalah serta pekerjaan bagi penduduk lokal.



penduduk kota Rawabi (foto: dream.co.id)
Awalnya, pembangunan proyek ini sempat tersendat setelah muncul gerakan intifada pada 2000. Setahun setelahnya, pembangunan kontruksi kota baru mulai berjalan. 

Bukan tanpa rintangan, beragam kritik muncul di balik niatnya membangun Rawabi. mulai dari tudingan kedekatannya denga israel. The Boycott, Divestment and Sanction Movement mengklaim masa lalu Masri digunakan untuk menjalin perjanjian dengan politisi dan pebisnis elit israel. Langkah yang dianggap upaya Masri menumpuk keuntungan dari pengeluaran orang Palestina.

Berbagai rintangan tak menyurutkan semangatnya. Impian menyediakan rumah murah dan layak serta pekerjaan masih terus diperjuangkan.

"Tak ada orang yang ingin menyakiti orang lain akan membeli apartemen dan tinggal di kota seperti ini," ujar.

Tanpa jaminan proyeknya akan menguntungkan, Masri meyakinan jika pembangunan kota seperti Rawabi akan membantu warga Palestina membangun negeri sendiri. 

"Waktu akan membuktikan jika ini adalah langkah besar untuk membangun negara kami," ujar Masri.

Sumber: dream.co.id
Share:

Daftar Berita

Blog Archive

Theme Support