December 17, 2017

Tanpa Senjata, Miliarder Palestina Lawan israel Dengan Pembangunan

kota Rawabih (foto: dream.co.id)
Gema Indonesia - Dibalik reruntuhan bangunan dan konflik yang terus terjadi sepanjang tahun, ternyata Palestina memiliki sebuah kota yang bersinar dan indah. Rawabi nama kota yang tengah dibangun menjadi sebuah mega proyek senilai US $1,4. Tampak deretan toko fashion di antara gedung bergaya romawi.

Bashar al-Masri, seorang milyarder berdarah Palestina berjuang melawan tiran israel, tidak dengan mengangkat senjata melainkan dengan pembangunan sebuah kota yang bersinar yang bernama Rawabi yang akan mengangkat harkat dan martabat rakyat Palestina.


Bashar al-Masri (foto:dream.co.id)
Selama satu dekade, baru 3000 orang yang tinggal di sejumlah menara di kawasan bukit sebelah utara Ramallah ini. Hingga kini pembangunan masih terus berlangsung dan diharapkan akan ada 40 ribu orang yang tinggal di kota baru ini.

"Rawabi, khususnya dalam 4-5 bulan, telah menjadi kota tujuan warga Palestina," ujar Bashar al-Masri.

Bashar al-Masri adalah seorang pebisnis di bidang properti, Massar International. Pada 2016 Kekayaannya ditaksir mencapai US$1,5 miliar.

Meskipun saat ini Masri telah menjadi seorang pebisnis yang sukses, namun masa lalunya penuh dengan perjuangan. Lahir pada tahun 1961, Masri besar di sebuah kawasan konflik Tepi Barat Nablus. Masri menghabiskan masa mudanya dengan melawan pendudukan israel yang mulai menguasai kawasan itu.

"Saat kecil, saya percaya pada kekerasan,". 

"Saya aktivis sekolah, merencanakan demonstrasi, dan menulis surat ke Sekjen PBB Kurt Waldheim," ujarnya.


Seperti pemuda Palestina lainnya, Masri juga sering melempar batu ke barisan tentara israel. Aksi ini membawanya masuk penjara pada 1975 saat berusia 14 tahun. Saat usia 16 tahun, Masri kembali masuk penjara hingga akhirnya diterbangkan ke sekolah menengah atas di Kairo, Mesir.

Masri kemudian melanjutkan studi teknik kimia dan manajemen di universitas Amerika dan Inggris. Namun saat gerakan intifada berkobar di tahun 1987, Masri pulang kampung.

"Saat periode itu, saya sama sekali tak keluar dari aksi demonstrasi. Saya lebih banyak berperan di sisi perencanaan," ungkapnya.

Usai menamatkan pendidikan, Masri merintis bisnis real estate yang mulai berkembang. Berbagai kontrak bisnis di Maroko, Libya, Yordania, dan Mesir ditanda tangani. Dia juga bekerja sebagai konsultan di London, Arab Saudi, dan Washington DC, Amerika Serikat.

Menjadi sukses dan maju di negeri orang, tak membuatnya melupakan tanah kelahiran. Dia terkenang dengan rumah masa lalunya dan memutuskan bertemu dengan beberapa teman sekolahnya. Tahun 1994 usai Oslo Accord, dan keinginan balik kampung, Masri mulai membangun mimpinya membangun Rawabi. Kota baru yang menyediakan akomodasi murah dibandingkan Ramalah serta pekerjaan bagi penduduk lokal.



penduduk kota Rawabi (foto: dream.co.id)
Awalnya, pembangunan proyek ini sempat tersendat setelah muncul gerakan intifada pada 2000. Setahun setelahnya, pembangunan kontruksi kota baru mulai berjalan. 

Bukan tanpa rintangan, beragam kritik muncul di balik niatnya membangun Rawabi. mulai dari tudingan kedekatannya denga israel. The Boycott, Divestment and Sanction Movement mengklaim masa lalu Masri digunakan untuk menjalin perjanjian dengan politisi dan pebisnis elit israel. Langkah yang dianggap upaya Masri menumpuk keuntungan dari pengeluaran orang Palestina.

Berbagai rintangan tak menyurutkan semangatnya. Impian menyediakan rumah murah dan layak serta pekerjaan masih terus diperjuangkan.

"Tak ada orang yang ingin menyakiti orang lain akan membeli apartemen dan tinggal di kota seperti ini," ujar.

Tanpa jaminan proyeknya akan menguntungkan, Masri meyakinan jika pembangunan kota seperti Rawabi akan membantu warga Palestina membangun negeri sendiri. 

"Waktu akan membuktikan jika ini adalah langkah besar untuk membangun negara kami," ujar Masri.

Sumber: dream.co.id
Share:

0 komentar:

Post a Comment

Daftar Berita

Blog Archive

Theme Support